Thursday, October 13, 2016

Makalah Sumber Hukum NU



BAB I
PENDAHULUAN




A.    Latar Belakang
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa. Disamping itu, ormas-ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan yang lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasikan pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di masyarakat.
Sedangkan, Nahdlatul  Ulama (NU) sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah sejak awal berdirinya telaha menjadikan faham Ahlussunah Waljamaah sebagai basis teologi,(dasar beraqidah) dan menganut salah satu mazhab dari empat mazhab sebagai pegangan dalam berfiqih, yaitu Imam Syafi’i. NU dalam kesehariannya lebih banyak menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Imam Syafi’i

B.     Rumusan masalah
a.       Bagaimana sejarah dan perkembangan NU?
b.       Bagaimana metode Istinbath Hukum Islam menurut NU?










BAB II
PEMBAHASAN


A.                  Sekilas Tentang Nahdhatul Ulama

·         Sejarah

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’aridi Surabaya.Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya yang pertama (1927), dinyatakan bahwaNU  bertujuanuntuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.

·         Perkembangan NU
Dengan landasan keagamaan tradisionalis yang dikembangkan, NU mampu bertanah hingga tujuh puluh tahun.Sejak berdiri hingga eksis sekarang ini, NU mengalami dinamika sejarah sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat.Seorang pengamat NU dari Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU dalam tiga periode.
Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti.NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Periode pertengahan, yakni ketika NU sebagai organisasi keagamaan, berubah fungsi menjadi sebuah partai politik atau menjadi unsur formal dalam sebuah partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930, yakni ketika NU bersama ormas lain mengadakan demo atas represi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana artikulasi politik umat Islam.Karena itu NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik sampai pada akhirnya tahun 1971 fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan.Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi kepentingan bangsa dan negara.Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia politik, NU kembali ke khittah 1926.
Periode ketiga, NU kembali pada aktivitas sosial keagamaan.Periode ini sebagai tonggak sejarah baru NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan Negara.[1]


B.                Metode Istinbath Hukum Islam Menurut NU
Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini di inventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (Klasik).Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument dan dalil rujukan.Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat.Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.
Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi’I, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia.  Jika pendapat Imam Syafi’I tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat (syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi). Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu dijadikan pertimbangan dalam penerapannya.[2]
Dalam penelitiannya Dr. Ahmad Zahro ‘menemukan’ bahwa dalam mengaplikasikan pendekatan mazhaby, Lajnah Bahtsul Masa’il menggunakan tiga metode istinbat hukum yang diterapkan secara berjenjang, secara ringkas nya adalah:

a. Metode Qauliy

Merupakan suatu metode dalam istinbat hukum yang digunakan ulama /intelektual NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawaban jawabannya kepada kitab Imam yang empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada teksnya dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ‘jadi’ dalam lingkup mazhab tertentu. Dalam realitanya, menurut warga NU dan para ulama bahwa metode bahtsul Masa’il dengan mengacu pada kitab Imam empat mazhab dengan metode qauliy ini masih refresentatif untuk menjawab segala kebutuhan masyarakat dalam segala zaman berikut tantangannya.

b. Metode Ilhaqy

Ilhaqiy yang dimaksudkan adalah menyamakan hukum suatu kasus yang jawabannya tidak terdapat dalam kitab al-mu’tabarah dengan hukmun atau masalah serupa yang telah dijawab dalam kitab al-mu’tabarah. metode ini secara operasional sebagaimana qauliy juga telah lama diperaktekkan ulama NU untuk menjawab permasalahan yang diajukan masyarakat Nahdliyyin. Metode ini secara opersional sebagaimana qauliy juga telah lama diperaktekkan oleh ulama yang meskipun secara implisit belum dinamakan ilhaqiy.[3]

Dalam perakteknya ilhaqiy menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya juga dinamakan qiyas versi NU, namun ada perbedaan dari kedua term ini, qiyas memperbandingkan dengan al-Qur’an dan as-sunnah sedangkan ilhaqiy memperbandingkan dengan kitab al-mu’tabarah.

c. Metode Manhajiy
Yang dimaksudkan dengan metode manhajiy adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[4] Sebagaimana qauliy dan lhaqiy , manhajiy sebenarnya sudah diperaktekkan Ulama-ulama NU terdahulu, walaupun tidak dengan istilah “manahjiy” ataupun keputusan resmi namun jika dilihat dari kriteria dan ‘identitasnya’ metode ini sudah lama dipakai. Sebagai contoh, dalam keputusan Muktamar 1 thn 1926: yang menguraikan dapatnya pahala si mayit atas sodaqoh yang dikeluarkan keluarga dan atau orang lain yang masih hidup, hal ini disandarkan jawabannya dengan mengutip hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِى مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا

Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya?? Maka beliau menjawab ‘ya’ dapat, Dia berkata sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia.[5]

Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk kepada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat Imam mazhab setelah al-Qur’an.

Dengan melihat metode penyelesaian masalah dalam Lajnah Bahtsul Masa’il diatas dapat disimpulkan dalam meyelesaikan persoalan ummat, NU dapat dikatakan tidak ‘enggan’ memakai hadis, kendati memakai suatu hadis namun Nahdiyyin tidak serta merta langsung merujuk kepada teks hadis melainkankan memahaminya dengan mereferens kembali kepada pemahaman Imam yang empat terhadap hadis tersebut (kitab al-Mu’tabarah).

a.      Tatacara Menjawab Masalah
ü  Dalam kasus ketika bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana yang diterangkan dalam ibarat tersebut.
ü  Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan tahrir jama’i untuk memilih satu qaul.
*    Proses pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan:
mengambil pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih rajah (kuat);
*                            sebisa mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:
ü  pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (Imam An-Nawawi dan Rafi’i);
ü  pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja;
ü  pendapat yang dipegang oleh al-Rafi’i saja;
ü  pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama;
ü  pendapat ulama yang terpandai; dan
ü  pendapat ulama yang paling wara’(berhati-hati terhadap hukum)

ü  Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaq (menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab).
ü  Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali dan tidak mungkin dilakukan Ilhaq, maka bisa dilakukan Istinbath jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaj.
b.      Analisis Masalah
Mengunakan kerangka pembahasan masalah :
Ø  Analisa masalah (sebab mengapa terjadinya kasus ditinjau dari berbagai factor baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dll)
Ø  Analisa dampak positif dan negatif dari berbagai aspek
Ø  Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus) setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang. Keputusan ini mepertimbangkan :
1.      Status hukum (al-ahkam al-khamsah)
2.      Dasar dari ajaran Ahlussunnah Waljama’ah
3.      Hukum positif (hukum Negara yang berlaku saat ini)
-          Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi fatwa diatas).[6]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
1.      Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah satu ormas Islam yang berperan dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesiayang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
2.      Prosedur pengambilan keputusan hukum adalah:
Semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (Klasik).Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat.Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.

Daftar Pustaka

Fadeli, Soeleiman dan Moh. Subhan, ,2008, Antologi NU, Khalista: Surabaya
Harits, Busyairi,2010, Islam NU (Pengawal Trasisi Sunni Indonesia), Khalista: Surabaya
Sobary, Mohammad, 2010, NU dan keindonesiaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Irsyad al-Syari ed.Muhammad Ishomuddin Hadziq Jombang: Pustaka Warisan Islam.
Zahro, Ahmad Tradisi Intelektual NU Lajnah Bahtsul Mas’ail 1926-1999 ,Yogyakarta: LKIS. 2004




[1] Mohamad Sobary, NU dan keindonesiaan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) Hlm.226

[2] Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi…, Ibid., hlm. 35-36
[3] Martin Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKIS. 1994) Cetakan I, Halaman 213, juga Ahmad Zahro Tradisi Intelektual NU.....hlm 116
[4] Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan.....hlm 364
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Bab idza Wuqifa Ardlan Walam Yubayyin al-Hudud, no : 2770 dalam Maktabah al-Syamilah juga Kitab al-Muhadzdzab, Bab al-Wasiyyat.
[6] Busyairi Harits, Islam. . .op.cit, hlm.59-61.

Kebebasan Dalam Akhlak Tasawuf



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan kebebasan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif merupakan suatu fakta yang sangat rumit karena apa yang disebut sebagai norma moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan. Dapat dikatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri. Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang, dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian kebebasan, tanggung jawab dan hati murni?
2.      Apa  Hubungan kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak ?








BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebebasan
Kebebasan adalah tidak dalam keadaan diam, tetapi dapat melakukan apa saja yang dinginkan selama masih dalam norma-norma atau peraturan-peraturan yang telah ada dalam kehidupan pribadi, keluarga , masyarakat, dan Negara.
Dalam arti luas kebebasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang menyangkut semua urusan mulai dari sekecil-kecilnya sampai sebesar-besarnya sesuai keinginan, baik individu maupun kelompok namun tidak bertentangan dengan norma-norma, aturan-aturan, dan perundang-undanganyang berlaku.
Ada dua kelompok ahli teologi yang mengungkapkan tentang masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak. 
·         Pertama kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan merdeka untuk melakukan perbuatannya menurut kemauannya sendiri. 
·         Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Dalam pandangan yang kedua ini manusia tidak ubahnya seperti wayang yang mengikuti sepenuhnya kemauan dalang.[1]
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula de­ngan isyarat yang diberikan al-Qur'an. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini:
 Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”(QS. Al-Kahfi: 29)
 Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushilat, 40)

Artinya:
Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran: 165)
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang kepada manusia untuk secara bebas menentukan tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.

Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan dibagi menjadi tiga, yaitu:
Ø  Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki.
Ø  Kedua kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir.
Ø  Ketiga kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan desakan yang tidak sampai dengan paksaan fisik.
Islam mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab yang bertanggung jawab dan memerhatikan norma-norma yang berlaku. Dengan kata lain, setiap orang memiliki kebebasan, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendaki selagi ia bisa mempertanggung jawabkan dan tidak melanggar norma-norma yang ada.
Norma adalah peraturan berupa perintah dan larangan yang mengatur pergaulan kehidupan manusia. Norma ada empat jenis, yaitu:
1.      Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang diyakini oleh pemeluknya berasal dari Tuhan.
2.      Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Peraturan hidup itu berupa bisikan kalbu atau suara batin yang diinsafi oleh setiap orang sebagai pedoman.
3.      Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia, diikuti dan ditaaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia lain.
4.      Norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa Negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dan dipaksakan oleh alat Negara.
Dengan memperhatikan norma-norma diatas dapat juga dikatakan bahwa kebebasan itu adalah kepatuhan dan tunduk pada hukum. Kebebasan juga dapat diartikan sebagai kemerdekaaan seseorang tanpa ada kekangan dari pihak mana pun yang dapat menghalangi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Ada faktor eksternal yang dapat menghilangkan kebebasan. Faktor tersebut datang dari pihak asing yang menjajah dan merampas kebebasan dengan paksa. Contohnya:
1.      Kerja paksa yang banyak diperlakukan pada zaman penjajahan seperti romusa dan kerja rodi;
2.      Amerika Serikat yang mengekang kebebasan Negara-negara lain karena ia memiliki kekuatan dalam ekonomi;
3.      Tenaga-tenaga kerja wanita yang sudah hampir disamakan dengan budak;
4.      Di Prancis kebebasan wanita muslim dirampas, tidak dibenarkan memakai jilbab.
Kebebasan diikat oleh peraturan dan norma yang berlaku. Kebebasan mengandung pengertian bahwa perbuatan yang bebas dibenarkan secara hukum sepanjang tidak merugikan orang lain, tidak bertentangan dengan adat istiadat dan norma yang berlaku.
.
B. Tanggung Jawab
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan di atas itu di tantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanda ada kebebasan. Di sinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti:
(1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, [2]
(2) Kemampuan untuk bertanggung jawab,
(3) Kedewasaan manusia, dan
(4) Keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instintif, melainkan terdapat makna kebebasan manusia yang merupakan obyek materia etika.
Sejalan dengan adanya kebebasan atau kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan dengan jujur ke­pada kata hatinya, bahwa tindakannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati itu. Jadi bahwa dia berbuat baik dan tidak berbuat jahat, setidak-tidaknya menurut keyakinannya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertanggung­jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertang­gungjawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertang­gungjawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.


C. Hati Nurani
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diya­kini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran atau paham intuisisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani, sebagaimana hal ini telah diuraikan panjang lebar di atas.
Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Dari pemahaman kebebasan yang demikian itu, maka timbul­lah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.[3]
D.  Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab Dan Hati Nurani Dengan Akhlak
Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas ke­mauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggungjawabnya dari orang yang melakukannya. Di sinilah letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.
Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul dari ke­ikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawab­kan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting.[4]
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Di sinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani.














BAB III
PENUTUP

1. Kebebasan
Kebebasan erat kaitannya dengan kesusilaan. Maka tidak ada fungsinya memuji atau mencela seseorang atas suatu perbuatan apabila dia dalam suatu perbuatan "tidak bebas". Dalam keadaan tertekan (tidak bebas), manusia tidak mungkin akan menjadi makhluk yang merdeka dan karena kebebasan inilah manusia dapat melakukan kesalahan.
Kesalahan yang paling berat dari manusia adalah menyerahkan kebebasannya. Bentuk paling buruk dari kesalahan adalah membuatkan diri untuk terperangkap dalam keburukan. Perbuatan seseorang akan bermakna apabila yang bersangkutan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, maka kesimpulanya adalah orang yang dapat dimintai tanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan.
Manusia dikatakan bebas apabila ia terikat pada norma-norma. Apabila ia tidak mengakui hal itu maka ia tetap tidak bebas, karena dikuasai kecendrungan dan senantiasa dipengaruhi dan terikat pada hokum yang lebih tinggi dan tidak sempurna.
Norma tidak memaksa manusia, sebaliknya, norma memberikan kebebasan kepadanya. Manusia bebas untuk menerima atau tidak menerima norma. Meskipun demikian, kebebasan merupakan kenyataan yang begitu pentingnya, sehingga tegak runtuhnya kesusilaan tergantung pada pengakuan atau pengingkaran atas kebebasan.

2. Tanggung Jawab
Sikap moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dan kebebasan. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instingtif.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Dari patokan ini maka menjadi jelaslah misalnya, orang yang membuat anarki disebut orang yang tidak bertanggung jawab.
3. Hati Nurari
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.
Karena sifatnya yang demikian maka hati nurani harus menjadi salah satu pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak membelenggu hati nuraninya karena hakikatnya hal itu ialah merugikan secara moral.
4. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab, Hati Nurani Dan Akhlak
Perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir, Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan dapat dipertaggung awabkan kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak dan hati nurani.










DAFTAR PUSTAKA


Nasution, Harun, Teologi (Ilmu Kalam), Jakarta, UI Press, 1972.
Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Zubair, Ahmad Charris, Kuliah Etika, Jakarta, Rajawali Pers, 1990.




[1] Lihat Harun Nasution, Teologi (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1972), hlm. 87.

[2] Ahmad Amin, Ilmu Akhlak, (terj) Farid Ma’ruf, dari judul asli al-Akhla q, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. I, hlm. 53.
[3] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), Cet. I, hlm. 39-40.
[4] Ibid. hlm. 43.

Makalah Sumber Hukum NU

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ul...